Menyoal Jalanan

By Futuha Sara - 13.45

credit : s3.amazonews.com
Saya akan menceritakan sesuatu hal dan membagikan unek - unek saya yang absurd ini perihal jalanan. Terlepas dari pengalaman pribadi atau hasil tukar pikiran dengan teman - teman saya.

Futuha (19) dan Hari (20), kami memiliki hobby yang sama, bersepeda dan membaca. Walaupun hobby utama kami sangat - sangat berbeda, saya suka menulis dan membuat cerita, dia komikus dan pemain musik, biola lebih tepatnya. Suatu hari kami berjalan kaki mengelilingi area Malioboro, penghujung selepas maghrib, usai mencari buku Marx di Shopping Book Center. Kami mendapati hal - hal yang umum didapati bagi orang yang pernah atau tinggal di Jogja, Macet. Jalanan ramai, apalagi di sekitar area wisata. Sangat tidak nyaman untuk pejalan kaki. Sebelumnya, karena hal inilah, Saya (19), Fadhil (20) dan Aditya (18) menelurkan paper perihal solusi kemacetan yang dialami oleh Jogja, khususnya untuk area wisata dan (alhamdulillah) lolos seleksi untuk dipublikasikan pada acara Indonesian Scholar International Convention (ISIC) 2015 di Kings College London, Oktober 2015. Karena beberapa persoalan, sebut saja birocrazy, kami belum berkesempatan untuk berangkat ke London (Tapi semoga impian kami untuk #NgopidiLondon bisa terwujud, aamiin).

Balik lagi ke persoalan awal, Jadi, ceritanya, selain mendapati kemacetan dan crowded yang menyebabkan discomfortable index wisatawan meningkat, kami juga mendapati ketidaktertiban pengguna jalan. Tau trotoar kan? Tau fungsi trotoar kan? Itulah yang menjadi sorotan utama kami, selain kemacetan, crowded jalanan, polusi dan tetekbengeknya. Malfunctioned trotoar, lebih enak gitu kali ya.. hehe. Pukul 19.30 saya dikejutkan dengan 3 bocah yang berboncengan menggunakan motor terjatuh tepat 2 meter didepan saya karena menghindari tumpukan gerobak di trotoar. Adeknya tidak memakai helm. Kaget kan akhirnya. Saya dan Hari hendak menolong, tapi entah karena gengsi atau apalah, adek - adek (yang mungkin berusia 13 - 15 tahun) langsung bangun dan menaiki motor mereka kembali. Cenglu! tanpa helm! masih bocah! piye jal perasaanmu?!

Sebenarnya, kalo misal nih ya, dilogika saja, jika trotoar oke, ada tetumbuhan, kursi jalanan, tidak ditumbuhi PKL dan dalam kondisi yang bersih, sampingnya disediakan lajur sepeda dengan peraturan tidak diperbolehkan kendaraan bermotor melewati lajur tersebut, waaah pasti asik tuh jalanan dipake buat jalan. Hm. sayangnya, kalo pengen kayak gitu, kayanya butuh waktu yang lama dan regulasi yang tidak gampang. Mindset pengen yang instan sepertinya masih menjadi candu di masyarakat kita, makanya pada gamau antre, lajur sepeda dipake buat kendaraan bermotor, trotoar dibuat jualan dan lahan parkir. Kalo masalah jualan, kami meyakini, uang negara banyak, bahkan di akhir tahun pun "kelebihannya" dihambur - hamburkan dengan mengadakan acara - acara tertentu supaya anggaran dana bisa ter-make-up dengan baik, mengadakan seminar atau pelatihan gratis dan pulang - pulang pesertanya pada bawa pesangon uang transport sebesar 200k, jaket a**i, tempat penyelenggaraan di hotel mewah dlsb dlsb. Wat de -____- duit itu, kalo manajerialnya baik, pengaturannya baik, gabakal deh ada ceritanya masyarakat tak terfasilitasi. Ah itu bukan bidang saya ya, hihi. Maafkan, ini hanya unek - unek saya yang saya perbincangkan kemaren dengan Hari. Agak berat memang bahasnya, tapi yaa sekedar share pemikiran aja.

PKL sejatinya bisa terfasilitasi dengan tempat yang lebih layak, tentu bukan jalanan. Sek, saya kasih pertanyaan. Tau ga berapa timbal yang terlepas di jalanan akibat ban motor dan polusi udara kendaraan bermotor? Tau ga timbal itu kemana aja? Bro, sis, tidak menutup kemungkinan, logam - logam berat itu menclok ke makanan yang dijual disamping jalanan, kita beli lalu masuk kedalam perut kita, menuju sistem aliran darah, dan yaa you know lah akibatnya gimana ._. Andai kata, temen2 PKL terfasilitasi di tempat yang lebih layak, tentu akan banyak sekali keuntungan yang didapatkan, mulai dari kenyamanan, kebersihan, dan lain sebagainya. Ini harapan sih. 

LAGI.
Beberapa hari yang lalu, saya dan Yanti (21), pergi ke Sekaten, Sebut saja jomblo - jomblo kemayu lagi mengisi malam minggu. Kami berangkat pukul 20.05. sampai sana, saking macetnya, baru nyampe pukul 21.10, bagi yang mengunjungi Sekaten pasti tau, sepanjang jalan depan BI dan sebelah selatan alun - alun utara, seperti apa kondisinya? Edyan bianget. Motor ki akeh tenan, gur parkir nang pinggir dalan, dikiro ga ono wong sing butuh mlaku po? yah, intinya itu. Memang sih kalo dari segi ekonomi masyarakat, penghasilan masyarakat lokal akan bertambah pada saat momentum sekaten dengan menjadi tukang parkir, Retribusinya Rp.5000; bray per motor, bayangkan ada berapa ratus ribu motor yang silih berganti mengunjungi Sekaten setiap harinya per periode? Okelah, its okay, yang ga oke itu, JALANANNYA DIPAKE PARKIR, GA ADA RUANG BUAT PEJALAN KAKI. Thats why, itulah permasalahannya; Nampaknya ruang terbuka akan sangat sulit ditemui pada kota - kota kita saat ini, hanya pembangunan, pembangunan, dan pembangunan yang berorientasi komersial. Cah, kita ini yo bayar pajak lo, setidaknya ada effort lah. 

Btw, ini unek - unek random, ketidakjelasan saya. 


  • Share:

You Might Also Like

0 comments