Langit - Langit
By Futuha Sara - 01.20
Matahari malu malu bersembunyi dibalik horizon. Perahu mulai dijalankan. Sepertinya orang - orang sudah bersiap - siap untuk menuju desa seberang, mengadu rejeki katanya. Sambil membawa ubi, jagung, cabai, atau apapun yang bisa dibawanya. Bengawan Solo tidak menjadi penghalang mereka berangkat dengan perahu kecil berpenggerak mein diesel. Ongkosnya 500 rupiah sekali jalan. Keadaan Bengawan Solo di musim penghujan tidak pernah bersahabat. Semenjak ada berita bahwa waduk Gajah Mungkur jebol, warga sudah memanen dini palawija yang mereka tanam di teras sungai Bengawan Solo.
Pukul 04.00 pagi, debit air Bengawan Solo mulai meningkat.
terlihat semakin jarum jam bergerak, semakin meningkat pula debit air yang kemudian mengalir menuju perkampungan. Cepat sekali air mengalir. Hanya membutuhkan waktu 7 jam, air sudah menggenangi seluruh desa.
Perempuan itu mondar mandir kalang kabut membawa rakit yang terbuat dari batang pisang untuk mencari suatu hal di sebuah rumah yang tinggal separo ketinggiannya lagi akan tenggelam. Si anak menunggui di atas rakit sambil terus memainkan sampan. Perempuan itu satu persatu meraih benda - benda milik anaknya didalam rumah kecil sederhana yang hampir tenggelam itu : buku.
Sang anak meraih buku - buku itu dengan ceria, berkata dia akan belajar di tempat yang tinggi selama sekolahnya terendam air banjir. Katanya, setelah masuk nanti dia akan menulis mengenai Banjir Bengawan Solo. Tulisan klasik untuk anak perempuan kelas 5 SD.
Setiap malam, dalam keheningan, dimana semua akses desa terputus, listrik padam, kebutuhan pangan kian mencekik, persediaan minyak tanah menipis, dan wabah penyakit mulai berdatangan. Perempuan itu khusyu ditemani lampu teplok membaca ayat - ayat-Nya, sang anak menunggui sambil menjaga adiknya yang masih kecil, sesekali protes, malas menunggui adiknya yang nakal. Katanya, lebih baik dia membaca buku sambil berlindung dibawah selimut hangat.
"Bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan." Perempuan itu berkata kepada kedua anaknya.
"Coba nak, hafalkan surat ini." Sambil menunjuk QS Al Alaq. Kemudian si anak membacanya lirih. Sesekali memandangi perempuan itu, dalam hatinya berkata "saya sudah pernah disuruh menghafal surat ini pas kelas 3 SD di TPA."
si anak kemudian berkata pada perempuan itu "sudah hafal", kemudian perempuan itu menjawab "maknai ayat 1 -5". Si anak jengkel karena merasa waktu tidurnya diganggu. Kemudian, akhirnya dia melakukan apa yang diperrintahkan oleh perempuan tadi.
Si anak mulai mengantuk, disuruhnya pergi ke dipan. Sebelum itu, sang perempuan berkata pada anaknya "nak, maafkam ibumu. Ibu tidak pernah bisa memberimu harta, karena memang tidak ada yang bisa ibu berikan. Ibu hanya bisa memberimu ilmu, karena hanya itu yang bisa ibu lakukan. Belajarlah apa yang kamu suka. Kelak ilmu itu akan menuntunmu." Temaram hening suasana pertengahan bulan. Purnama menampakkan kegagahannya.
_ sepenggal kisah banjir Bengawan Solo, 2007. Di tempat saudara, mengungsi. Malam - malam_
2015...
*menyetrika baju sambil mereview hafalan*
"Ibu, hafalanku banyak yang hilang. Aku terlalu banyak melakukan maksiat, bu."
...
Pukul 04.00 pagi, debit air Bengawan Solo mulai meningkat.
terlihat semakin jarum jam bergerak, semakin meningkat pula debit air yang kemudian mengalir menuju perkampungan. Cepat sekali air mengalir. Hanya membutuhkan waktu 7 jam, air sudah menggenangi seluruh desa.
Perempuan itu mondar mandir kalang kabut membawa rakit yang terbuat dari batang pisang untuk mencari suatu hal di sebuah rumah yang tinggal separo ketinggiannya lagi akan tenggelam. Si anak menunggui di atas rakit sambil terus memainkan sampan. Perempuan itu satu persatu meraih benda - benda milik anaknya didalam rumah kecil sederhana yang hampir tenggelam itu : buku.
Sang anak meraih buku - buku itu dengan ceria, berkata dia akan belajar di tempat yang tinggi selama sekolahnya terendam air banjir. Katanya, setelah masuk nanti dia akan menulis mengenai Banjir Bengawan Solo. Tulisan klasik untuk anak perempuan kelas 5 SD.
Setiap malam, dalam keheningan, dimana semua akses desa terputus, listrik padam, kebutuhan pangan kian mencekik, persediaan minyak tanah menipis, dan wabah penyakit mulai berdatangan. Perempuan itu khusyu ditemani lampu teplok membaca ayat - ayat-Nya, sang anak menunggui sambil menjaga adiknya yang masih kecil, sesekali protes, malas menunggui adiknya yang nakal. Katanya, lebih baik dia membaca buku sambil berlindung dibawah selimut hangat.
"Bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan." Perempuan itu berkata kepada kedua anaknya.
"Coba nak, hafalkan surat ini." Sambil menunjuk QS Al Alaq. Kemudian si anak membacanya lirih. Sesekali memandangi perempuan itu, dalam hatinya berkata "saya sudah pernah disuruh menghafal surat ini pas kelas 3 SD di TPA."
si anak kemudian berkata pada perempuan itu "sudah hafal", kemudian perempuan itu menjawab "maknai ayat 1 -5". Si anak jengkel karena merasa waktu tidurnya diganggu. Kemudian, akhirnya dia melakukan apa yang diperrintahkan oleh perempuan tadi.
Si anak mulai mengantuk, disuruhnya pergi ke dipan. Sebelum itu, sang perempuan berkata pada anaknya "nak, maafkam ibumu. Ibu tidak pernah bisa memberimu harta, karena memang tidak ada yang bisa ibu berikan. Ibu hanya bisa memberimu ilmu, karena hanya itu yang bisa ibu lakukan. Belajarlah apa yang kamu suka. Kelak ilmu itu akan menuntunmu." Temaram hening suasana pertengahan bulan. Purnama menampakkan kegagahannya.
_ sepenggal kisah banjir Bengawan Solo, 2007. Di tempat saudara, mengungsi. Malam - malam_
2015...
*menyetrika baju sambil mereview hafalan*
"Ibu, hafalanku banyak yang hilang. Aku terlalu banyak melakukan maksiat, bu."
...
0 comments