Tidak Sebatas Kegiatan Lapangan (Cerita Perjalanan Penelitian Longsor di Ponorogo)

By Futuha Sara - 07.32

Sekitar april lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk bias memperoleh ilmu baru yang menakjubkan dari dosen pembimbing akademik saya, Prof.Junun. Pagi-pagi sekali, kepala lab geomorfologi lingkungan dan mitigasi bencana, Pak Anggri, menelpon saya, katanya saya harus ke lab. Setelah "meniti" kegiatan lab terhitung dari Desember 2016, saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi asisten penelitian di lab tersebut. Kesempatan yang sangat saya syukuri.

Pemanggilan saya ke lab bukan tanpa alasan, Pak Junun mengajak saya bersama beberapa rekan freshgraduate jurusan geografi lingkungan dan 2 orang mahasiswa S2 yang concern di bidang ilmu Tanah, konservasi, dan longsor untuk pergi ke Banaran, Pulung, Ponorogo. Longsor besar yang terjadi awal april itu menimbun setidaknya 32 rumah di lahan permukiman milik warga. Lebih dari 150 warga terdampak, dan infrastruktur juga rusak. Longsor yang menewaskan lebih dari 30 orang, sementara lebih dari belasan orang hilang (tidak ditemukan). Kami pergi dengan rombongan dari UGM yakni dari departemen geografi lingkungan 2 kubu, serta dari Pusat Studi Bencana Alam UGM. Perjalanan dari Jogja ke Ponorogo adalah sekitar 5 jam menggunakan mobil.

Sesampainya di sana? pemandangan luar biasa sangat indah, sawah berterasiring menghijau, udara sejuk, namun sungainya keruh akibat adanya sedimen dari hasil longsoran. Sesampainya di titik lokasi, mungkin hanya ada haru. Pemandangan duka. Rumah-rumah rata dengan Tanah, pohon-pohon tumbang, banyak posko tanggap bencana, sumbangan di mana-mana, dan yang jelas, bendera partai politik yang "berbela sungkawa" juga berkibar di mana-mana.
Kenampakan sekitar lokasi longsor Banaran

dilihat dari jalan utama yang menghubungkan wilayah aman dan wilayah terdampak

suasana di posko pengungsian
Kira-kira... begitulah gambarannya. Nah, kembali lagi, apa yang kami teliti? kami ingin meneliti sampel Tanah yang diambil dari lokasi longsor, mengukur sifat-sifat fisiknya untuk mengetahui kecenderungan Tanah tersebut. kami mengambil sekitar 15 titik sampel dengan parameter uji per sampel berkisar 6-8 pengujian. Selain itu, kami juga melakukan orientasi lapangan, berjalan kaki dari pagi hingga maghrib. Di siang hari, hujan deras melanda. Kami berdiri di atas timbunan longsor, menyaksikan satu per satu Tanah menggelincir dari atas tebing. Suara petir bergemuruh, kabut menebal, dan kami satu per satu mulai kedinginan. Bau amis di mana-mana, mungkin, bau makhluk hidup seperti binatang atau bahkan manusia yang tertimbun dan membusuk di sekitar lokasi kami berdiri. Saya, yang baru pertama kali ini menginjakkan kaki tepat di badan longsor yang sebesar itu, jujur ada sedikit rasa takut, atau lebih tepatnya pengen nangis. Gak tau kenapa, pokoknya pengen nangis. Selama satu setengah jam kami berdiri di badan longsor, ditengah guyuran hujan, melihat alam menampakkan kegagahannya.

Penelitian di lapangan kami lakukan selama tiga hari untuk pengambilan sampel dan pengamatan lapangan. Selain mengambil sampel, kami juga melakukan analisis konservasi, dipandu salah seorang ahli pertanian, beliau mengatakan bahwa teknik konservasi yang ada di Banaran "tidak masalah", jadi lebih ke factor lain untuk penyebab longsor itu tadi. Sampai saat ini, kami masih melakukan penelitian-penelitian terkait hal-hal tersebut. Pengalaman yang unik bagi saya. Sekaligus mendebarkan.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments