Bersiap! bukan meratap: Sebuah perspektif perempuan jomblo awal dua puluhan tentang pernikahan
By Futuha Sara - 00.05
Judul ini merupakan judul yang sudah terpikirkan lama oleh saya. Sempat ragu menuangkannya ke dalam tulisan dan mempublikasikannya di dalam blog, akhirnya saya memberanikan diri *hela nafas* untuk menulis dan mempublikasikannya.
disclaimer: tulisan ini juga sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, ada beberapa curhatan, jadi tulisan ini bersifat menekan ke subjektifitas dan opini saya pribadi. Kasusnya boleh tidak diseragamkan, tetapi harapannya melalui tulisan ini, selain tadi-pengingat buat saya, juga sebagai salah satu sudut pandang yang mungkin berguna bagi teman-teman yang membacanya.
----
Bersiap! Bukan Meratap.
Di usia dua puluhan, beragam kompleksitas kehidupan yang mungkin tidak pernah kita duga satu per satu akan muncul. di usia dua puluhan pula, beberapa ilmuwan dan psikolog menyebutnya sebagai quarter life crisis. Di mana akan ada kebimbangan, kebingungan, dan hal-hal kompleks lainnya yang kita hadapi dan mau tidak mau harus kita rasakan dan fikirkan. Salah satunya adalah mengenai pasangan.
Di usia seperti ini, bicara mengenai pasangan, kiranya bukan lagi tentang how to hahahihi with ur boy/girlfriend. Melainkan ada selipan, how to prepare our future together. Tidak ada salahnya memang ketika beberapa dari kita yang menganggap 'ah ntar aja deh, aku kan masih muda. belum pengen serius. aku nembak dia ga ada niatan serius ko'. Tapi pernah gak sih, kita terpikirkan....
Berapa lama waktu dan energy yang kita habiskan untuk sebuah hal yang... yaa.. you know, bersifat semu?
Saya tidak mengatakan sia-sia loh ya, karena apapun dalam hidup kita ga bakal ada yang sia-sia. Tuhan itu baik kok, percaya aja :)
Nah, bedanya, antara laki-laki dan perempuan, beberapa laki-laki (berdasarkan survey mini futty wkwk) akan cenderung menginginkan waktu yang agak panjang untuk mencapai jenjang pernikahan. Mereka ga terlalu sensi tuh, ketika ada temennya yang udah nikah dan gendong anak. Beda cerita bagi para ceciwi. Lihat kondangannya temen nikah aja langsung pada baper. 'Aduuuh harusnya kan datang kondangan sama pasangan. Eladalaa, gue masih jomblo aja.' atau... 'Mah, temen aku kemaren barusan punya baby, lucu banget deh Mah, jadi mamimud gitu.. Mami muda, hehe. Aku kapan ya Mah?'
ATAU....
'YAAMPUN SEHARIAN KAGA ADA YANG NGE-CHAT, MERANA BANGET SIH HIDUP GW'
Memang, di usia dua puluhan, pernikahan seolah menjadi isu yang sensitif bagi para ceciwi. FYI, dalam standar BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), usia ideal perempuan menikah adalah 21-25, kemudian batas maksimal melahirkan adalah 31 tahun. Makanya, kita tidak bisa menyamakan persepsi antara laki-laki dan perempuan dalam hal terkait dengan orientasi pernikahan.
Masalahnya, kebanyakan dari kita, terlalu sibuk meratapi nasib diri sebagai seorang jomblo ketimbang sibuk mempersiapkan diri terhadap pernikahan, yang konon, kata ibu saya, pernikahan itu ga cuma tentang ena(ena) nya doang. Bukan hanya rangkulan, selfie, terus upload Instagram. Bayangkan lah, dua kepala yang berbeda harus hidup bersama dengan berbagai permasalahan, kegiatan, tantangan, pasang surutnya rezeki, dan lain sebagainya.
Dalam rata-rata pemahaman kita, yaudah lah ya, kan yang ceciwi nanti dihidupin sama suami. Masalahnya lagi, ini bukan soal siapa yang menghidupi. Namun bagaimana kita menyiapkan kelapangan hati untuk berkompromi agar tetap bias terhidupi. Lahir batin.
Nah, apakah kelapangan hati, ilmu, pengalaman, hanya kita dapatkan dengan cara meratapi diri? bermalas-malasan menunggu chat masuk dari seseorang? kemudian jalan-jalan keluar nongkrong hahahihi? Tentu tidak.
Persiapan itu penting. Jika selama ini kita mengaku ingin menikah, coba tanyakan kepada diri kita lagi,
siapkah saya membersamai seseorang?
cukupkan pengetahuan dan pengalaman dasar saya?
bisakah saya mengendorkan ego?
cukup lapangkah hati saya ketika nanti satu persatu kekurangan dari pasangan terkuak?
masih adakah hutang ambisi masa muda yang belum saya lunasi?
disclaimer: tulisan ini juga sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, ada beberapa curhatan, jadi tulisan ini bersifat menekan ke subjektifitas dan opini saya pribadi. Kasusnya boleh tidak diseragamkan, tetapi harapannya melalui tulisan ini, selain tadi-pengingat buat saya, juga sebagai salah satu sudut pandang yang mungkin berguna bagi teman-teman yang membacanya.
----
Bersiap! Bukan Meratap.
Di usia dua puluhan, beragam kompleksitas kehidupan yang mungkin tidak pernah kita duga satu per satu akan muncul. di usia dua puluhan pula, beberapa ilmuwan dan psikolog menyebutnya sebagai quarter life crisis. Di mana akan ada kebimbangan, kebingungan, dan hal-hal kompleks lainnya yang kita hadapi dan mau tidak mau harus kita rasakan dan fikirkan. Salah satunya adalah mengenai pasangan.
Di usia seperti ini, bicara mengenai pasangan, kiranya bukan lagi tentang how to hahahihi with ur boy/girlfriend. Melainkan ada selipan, how to prepare our future together. Tidak ada salahnya memang ketika beberapa dari kita yang menganggap 'ah ntar aja deh, aku kan masih muda. belum pengen serius. aku nembak dia ga ada niatan serius ko'. Tapi pernah gak sih, kita terpikirkan....
Berapa lama waktu dan energy yang kita habiskan untuk sebuah hal yang... yaa.. you know, bersifat semu?
Saya tidak mengatakan sia-sia loh ya, karena apapun dalam hidup kita ga bakal ada yang sia-sia. Tuhan itu baik kok, percaya aja :)
Nah, bedanya, antara laki-laki dan perempuan, beberapa laki-laki (berdasarkan survey mini futty wkwk) akan cenderung menginginkan waktu yang agak panjang untuk mencapai jenjang pernikahan. Mereka ga terlalu sensi tuh, ketika ada temennya yang udah nikah dan gendong anak. Beda cerita bagi para ceciwi. Lihat kondangannya temen nikah aja langsung pada baper. 'Aduuuh harusnya kan datang kondangan sama pasangan. Eladalaa, gue masih jomblo aja.' atau... 'Mah, temen aku kemaren barusan punya baby, lucu banget deh Mah, jadi mamimud gitu.. Mami muda, hehe. Aku kapan ya Mah?'
ATAU....
'YAAMPUN SEHARIAN KAGA ADA YANG NGE-CHAT, MERANA BANGET SIH HIDUP GW'
Memang, di usia dua puluhan, pernikahan seolah menjadi isu yang sensitif bagi para ceciwi. FYI, dalam standar BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), usia ideal perempuan menikah adalah 21-25, kemudian batas maksimal melahirkan adalah 31 tahun. Makanya, kita tidak bisa menyamakan persepsi antara laki-laki dan perempuan dalam hal terkait dengan orientasi pernikahan.
Masalahnya, kebanyakan dari kita, terlalu sibuk meratapi nasib diri sebagai seorang jomblo ketimbang sibuk mempersiapkan diri terhadap pernikahan, yang konon, kata ibu saya, pernikahan itu ga cuma tentang ena(ena) nya doang. Bukan hanya rangkulan, selfie, terus upload Instagram. Bayangkan lah, dua kepala yang berbeda harus hidup bersama dengan berbagai permasalahan, kegiatan, tantangan, pasang surutnya rezeki, dan lain sebagainya.
Dalam rata-rata pemahaman kita, yaudah lah ya, kan yang ceciwi nanti dihidupin sama suami. Masalahnya lagi, ini bukan soal siapa yang menghidupi. Namun bagaimana kita menyiapkan kelapangan hati untuk berkompromi agar tetap bias terhidupi. Lahir batin.
Nah, apakah kelapangan hati, ilmu, pengalaman, hanya kita dapatkan dengan cara meratapi diri? bermalas-malasan menunggu chat masuk dari seseorang? kemudian jalan-jalan keluar nongkrong hahahihi? Tentu tidak.
Persiapan itu penting. Jika selama ini kita mengaku ingin menikah, coba tanyakan kepada diri kita lagi,
siapkah saya membersamai seseorang?
cukupkan pengetahuan dan pengalaman dasar saya?
bisakah saya mengendorkan ego?
cukup lapangkah hati saya ketika nanti satu persatu kekurangan dari pasangan terkuak?
masih adakah hutang ambisi masa muda yang belum saya lunasi?
daaan lain sebagainya. setiap orang memiliki pertanyaan khasnya.
Menikah bukan hanya soal cinta. Menikah berarti juga menyatukan dua keluarga dan membentuk sebuah keluarga baru. Unit terkecil yang akan menentukan generasi mendatang. Jika dinyinyirin temen aja kita masih sering tersinggung, gimana coba kalo kita dapat mertua yang (bisa jadi) seperti itu? WKWKWK. Atau, mungkin kita masih perlu belajar dari berbagai macam persepsi orang, karena manusia kan juga dinamis. Kita tidak bisa memprediksi masa depan. Maka yang kita perlukan adalah mempersiapkannya.
Mampersiapkan kelapangan hati, maksudnya. Hehe.
Kelapangan hati menerima, menerima masa lalu kita, menerima pasangan kita, keluarga pasangan kita, dan persiapan menerima kejadian-kejadian mendatang bersama pasangan kita.
Itu dari segi psikologis ya, terus dari segi material apa dong?
Sebenernya saya menganggap pernikahan itu bukan sebagai benteng yang menghalangi seorang perempuan untuk mengenyam jenjang pendidikan tinggi maupun berkarir. Asal ya itu tadi, harus ada komunikasi, kompromi, dan komitmen antar-pasangan. Tapi, yang perlu dijadikan pertimbangan di sini adalah... meskipun menikah merupakan pembuka pintu rezeki, yang namanya makhluk, hidup di zaman yang serba unpredictable, kebutuhan akan finansial dan tabungan itu perlu ya. Selain investasi pendidikan. Ibaratnya untuk tawakkal, kita juga perlu ikhtiar, Mungkin beberapa skill dasar seperti memasak, membersihkan rumah, dan mencuci piring dapat menjadi salah satu bekal untuk kehidupan pernikahan.
Daaan, apakah dengan cara meratap, menjadi seolah-olah jomblo merana akan membuat kita siap di jenjang itu?
Pikirkan kembali.
Ketika saat ini kita malas-malasan untuk belajar hal-hal baru, apakah kita akan tega, mengobrol bersama suami dengan bahan gosipan dari grup line? Apakah kita tega membiarkan anak-anak kita berwawasan momplong?
Pikirkanlah kembali.
Ada hati yang perlu dilapangkan,
Ada otak yang perlu dinutrisi,
Ada pikiran dan perasaan yang perlu dipositifkan,
Tentu itu tidak akan terwujud hanya dengan cara meratap, kan?
Ceciwi baik, yakinkanlah pada diri kita bahwa dengan sibuknya kita, dengan belajarnya kita (entah material maupun belajar secara interaksional), adalah bentuk rasa cinta kita pada pasangan kita (nanti). Meratap bukanlah solusi. Ayo produktif, ayo tebar kebaikan. Dengan begitu, waktu kita tidak akan terbuang untuk sesuatu hal yang semu. Dengan begitu, setidaknya masa tunggu kita ada membawa suatu hal yang mungkin berguna untuk kehidupan ke depan.
Jodoh memang telah ditentukan, tapi bukan berarti kita hanya menodongnya tanpa persiapan, kan?
Ada satu quote menarik yang saya dapatkan tadi setelah berdiskusi dengan teman saya,
'Tingkat tingginya spiritualitas seseorang bukan diukur dari bahagianya ia, melainkan dari seberapa mampu ia memaklumi sesuatu.'
Semoga aku, kamu, dan kita, senantiasa dalam kebaikan.
Salam,
Futuha <3
0 comments