Akhirnya aku dan Husna memiliki tempat tinggal yang akan kami tempati selama 56 hari ke depan.
Alarm saling berbunyi. Kadang milikku, kadang milik Husna. Bersahut-sahutan. Dinginnya udara di Wonosari membuat kami menarik selimut kembali. Aku tidak menggunakan selimut. Tapi sleeping bag di atas kasur. Mirip kepompong bobo. Pukul 3, alarm kami selalu berdering pada waktu-waktu itu. Jika kami bangun pada jam-jam tersebut selain di hari KKN adalah untuk 'nugas'. di KKN ini, serasa sangat gabut: liburan yang mendapatkan penilaian sejumlah 3 SKS.
Maka waktu yang kami gunakan serasa sangat panjang. Kami seranjang, aku yang di sisi dekat tembok, dan Husna di sampingku. Sengaja aku mengambil sisi dekat tembok karena.. kalau aku tidak di sisi itu, pasti tiap pagi badanku sakit karena terjatuh dan terguling di lantai. Tiap malam aku tidak pernah tau gerakan apa yang ku lakukan sehingga sering jatuh dari tempat tidur. Pagi, ketika bangun, yang ku lihat setelah langit-langit rumah adalah Husna. Entah dia sudah menunaikan dua rakaat sunnahnya, atau masih molor tertidur. Pun setelah subuhan kami akan menarik selimut kembali. Karena aktivitas masak memasak dan bersih-bersih rumah di keluarga Pak Kahono baru akan dimulai pukul tujuh.
Pukul enam kami berdua bangun. Kadang kami menertawakan diri kami sendiri: anak gadis macam apa ini, habis subuhan bangun lagi. Sebab kami bingung akan melakukan apa setelah ibadah fajar. Suhu udara rata-rata di sana tiap pagi adalah 14 derajat celcius. Aku yang memiliki kebiasaan baca tiap pagi pun terpaksa harus menarik selimut kembali dan baru melanjutkan bacaan pada pukul enam pagi. Biasanya sambil menyeduh cokelat panas.
Kami membuka jendela kamar yang kami tempati. Udara sejuk perlahan masuk. Di luar sana, ada semburat cahaya pagi di antara dedaunan pohon aren. Kadang kokok ayam jantan pun bersahutan merdu. Diiringi merdunya lantunan ayat-ayat kitab suci yang diputar Husna tiap pagi.
"Aku menikmati pagi ini", kataku.
"Pagi kita akan selalu seperti ini, bukan?" Jawab Husna sambil membolak balik buku ku yang aku bawa dari Jogja ke lokasi KKN.
"Hus. Kalau sudah pulang KKN, sepertinya aku akan sering rindu suasana pagi yang seperti ini."
"Lebih tepatnya kamu akan rindu dengan cahaya pagi, udara dinginnya, aroma tanah basahnya."
Benar saja kata Husna, aku akan selalu merindukan pagi-pagi di Mergolangu. Pagi adalah waktuku bercerita dengan Husna tentang apa yang kami rencanakan seharian, apa mimpi-mimpi kami yang harus kami wujudkan. Tidak jarang, lambe turahan, mengobrolkan baju yang tak kunjung kering, sudah tiga hari karena tidak ada panas matahari. Obrolan receh membincangkan anak dusun yang kegirangan ketika kami bernyanyi "tralala trilili".
Pertanyaan terbesarku kepada Husna kali itu adalah, "Hus, bisakah kita selalu bersyukur tiap pagi? Tiap kita bernafas dan ada, tiap kita diberi nikmat sehat dan nikmat bahagia?"
Akhirnya Husna menjawab: Kebaikan akan melahirkan kebahagiaan. Termasuk kebaikan-kebaikan di pagi hari.
Aku bertanya lagi, apa itu kebaikan-kebaikan di pagi hari?
Menunaikan ibadah fajar, membaca kitab suci, mensyukuri nikmat Tuhan, dan memberi asupan untuk pikiran dan perasaan, misalnya.
Jawab Husna.
Jawaban yang cukup menenangkanku.
Alarm saling berbunyi. Kadang milikku, kadang milik Husna. Bersahut-sahutan. Dinginnya udara di Wonosari membuat kami menarik selimut kembali. Aku tidak menggunakan selimut. Tapi sleeping bag di atas kasur. Mirip kepompong bobo. Pukul 3, alarm kami selalu berdering pada waktu-waktu itu. Jika kami bangun pada jam-jam tersebut selain di hari KKN adalah untuk 'nugas'. di KKN ini, serasa sangat gabut: liburan yang mendapatkan penilaian sejumlah 3 SKS.
Maka waktu yang kami gunakan serasa sangat panjang. Kami seranjang, aku yang di sisi dekat tembok, dan Husna di sampingku. Sengaja aku mengambil sisi dekat tembok karena.. kalau aku tidak di sisi itu, pasti tiap pagi badanku sakit karena terjatuh dan terguling di lantai. Tiap malam aku tidak pernah tau gerakan apa yang ku lakukan sehingga sering jatuh dari tempat tidur. Pagi, ketika bangun, yang ku lihat setelah langit-langit rumah adalah Husna. Entah dia sudah menunaikan dua rakaat sunnahnya, atau masih molor tertidur. Pun setelah subuhan kami akan menarik selimut kembali. Karena aktivitas masak memasak dan bersih-bersih rumah di keluarga Pak Kahono baru akan dimulai pukul tujuh.
Pukul enam kami berdua bangun. Kadang kami menertawakan diri kami sendiri: anak gadis macam apa ini, habis subuhan bangun lagi. Sebab kami bingung akan melakukan apa setelah ibadah fajar. Suhu udara rata-rata di sana tiap pagi adalah 14 derajat celcius. Aku yang memiliki kebiasaan baca tiap pagi pun terpaksa harus menarik selimut kembali dan baru melanjutkan bacaan pada pukul enam pagi. Biasanya sambil menyeduh cokelat panas.
Kami membuka jendela kamar yang kami tempati. Udara sejuk perlahan masuk. Di luar sana, ada semburat cahaya pagi di antara dedaunan pohon aren. Kadang kokok ayam jantan pun bersahutan merdu. Diiringi merdunya lantunan ayat-ayat kitab suci yang diputar Husna tiap pagi.
"Aku menikmati pagi ini", kataku.
"Pagi kita akan selalu seperti ini, bukan?" Jawab Husna sambil membolak balik buku ku yang aku bawa dari Jogja ke lokasi KKN.
"Hus. Kalau sudah pulang KKN, sepertinya aku akan sering rindu suasana pagi yang seperti ini."
"Lebih tepatnya kamu akan rindu dengan cahaya pagi, udara dinginnya, aroma tanah basahnya."
Benar saja kata Husna, aku akan selalu merindukan pagi-pagi di Mergolangu. Pagi adalah waktuku bercerita dengan Husna tentang apa yang kami rencanakan seharian, apa mimpi-mimpi kami yang harus kami wujudkan. Tidak jarang, lambe turahan, mengobrolkan baju yang tak kunjung kering, sudah tiga hari karena tidak ada panas matahari. Obrolan receh membincangkan anak dusun yang kegirangan ketika kami bernyanyi "tralala trilili".
Pertanyaan terbesarku kepada Husna kali itu adalah, "Hus, bisakah kita selalu bersyukur tiap pagi? Tiap kita bernafas dan ada, tiap kita diberi nikmat sehat dan nikmat bahagia?"
Akhirnya Husna menjawab: Kebaikan akan melahirkan kebahagiaan. Termasuk kebaikan-kebaikan di pagi hari.
Aku bertanya lagi, apa itu kebaikan-kebaikan di pagi hari?
Menunaikan ibadah fajar, membaca kitab suci, mensyukuri nikmat Tuhan, dan memberi asupan untuk pikiran dan perasaan, misalnya.
Jawab Husna.
Jawaban yang cukup menenangkanku.
0 comments