#13 Minutes Writing: Latihan menjadi "Guru"

By Futuha Sara - 23.48


Sekitar tahun 2006 lalu, desa saya didatangi oleh mahasiswa-mahasiswa KKN dari salah satu universitas di Tuban. Salah satu program mereka adalah mengajari siswa-siswa SD di desa saya. Saya bertemu dengan salah satu kakak (lupa namanya). Dia sangaaat cakap mengajari saya IPA dan IPS. Dia menjelaskan kenapa ada angin, ada hujan, dan kenapa gunung di Tuban tidak meletus. Haha. sebenarnya pertanyaan itu suda sering saya lontarkan kepada Bapak waktu masih kecil. Termasuk pertanyaan konyol: Bapak, Bengawan kok bentuknya panjang dan ada airnya? Apa itu lewatan pipisnya naga ya?

Maklum, desa saya dilalui Bengawan Solo dan mengalami banjir tiap tahunnya. Puncaknya 2007, waktu itu rumah saya cuma kelihatan bagian genting nya saja. Nah, balik lagi. Kakak itu bercerita bahwa ketika kita belajar dan kemudian menyalurkan apa yang kita pelajari kepada orang lain, akan ada perasaan yang saaangaat bahagia. Sejak saat itulah saya mengubah haluan cita-cita saya, yang awalnya ingin menjadi dokter, ganti menjadi guru.

Akan saya mulai dari mana? Haha. Baiklah, sekitar dua tahun yang lalu, teman saya meminta bantuan kepada saya untuk "mengajar" adik-adik kelasnya mengenai Meteorologi dan Klimatologi (metklim) yang merupakan salah satu cabang pokok dan diujikan dalam olimpiade kebumian. Dalih awalnya hanya meminta tolong untuk menggantikan jadwal sebanyak dua kali, sekolah tersebut malah menawarkan saya untuk menjadi pengajar ekstra kurikuler Olimpiade Sains Nasional untuk ilmu kebumian disana. Satu tahun pertama, saya hanya menjadi pengajar di bidang Met-klim, karena untuk geologi umum, geomorfologi, dan hidrologi sudah dipegang kakak kelas mereka yang studi di Teknik Geologi, dan bidang astronomi-oseanografi pun juga begitu.

Tahun selanjutnya saya dihubungi lagi untuk mengajar di sana, kali ini pengajar yang tersisa tinggal dua, saya kebagian met-klim, hidrologi-oseanografi, dan geomorfologi umum. Walaa!! Semakin banyak, ya. Kebetulan jatah saya satu minggu sekali-dua kali dengan durasi dua jam di salah satu sekolah negeri terkemuka di Jogja. Di tahun ke dua ini, awal ajaran baru, saat pertama saya mengajar dan bertemu wajah baru, hanya terdapat empat orang di kelas saya. Lah saya akhirnya kaget, kok peminat ilmu kebumian tahun ini sangat sedikit, ya? Padahal sekolah ini sangat sering melahirkan medalis-medalis olimpiade sains. Oke, saya bisa menerimanya, dengan empat orang siswa.

Miggu ke dua, masih empat orang siswa, dan minggu ke tiga saya kaget karena mendapati kelas saya bertambah siswanya menjadi 12 orang. Awalnya saya mengira bahwa mereka "nyasar" atau penghuni kelas itu yang kebetulan dipinjam untuk ekskul. Ya sudah, akhirnya saya nerocos sana-sini menjelaskan tentang bentuklahan asal proses fluvial. Tak lama kemudian, banyak sekali pertanyaan terlontarkan dari wajah-wajah baru ini, mereka sangat antusias bertanya dan rasa keingintahuan mereka yang sangat tinggi sehingga memaksa saya mencari banyak referensi dan juga harus banyak membaca (lagi). Walaupun kerepotan, saya sangat senang. Artinya, mereka tertarik dengan ilmu kebumian. Beberapa menit setelah itu, saya menanyakan: "temen-temen kok jadi banyak ya, sekarang? penghuni kelas atau bagaimana ya?". Salah satu dari mereka menjawab: kami baru ikut kelas ini, Kak. saya mantuk-mantuk, dan kembali bertanya: "Lah kok ndak dari kemarin?", salah satu lainnya menjawab "kami pindahan dari beberapa bidang kak, saya dari fisika tapi mau pindah ke kebumian saja.." Jawabnya polos. Pft... Saya menggeleng juga akhirya.

Jadi ingat salah satu siswa saya tahun lalu, dia dari bidang geografi tapi ikut ke kelas saya dan membawakan saya roti, dia bilang supaya saya betah mengajar disini. Nangis akhirnya, saya terharu. Dan keterharuan saya bertambah ketika dia memenangkan lomba dan mengucapkan terima kasih.

Hari ini, saya mendapat kabar bahwa "gaji" saya bisa diambil. Nominal per bulannya sangat lumayan bahkan melebihi uang beasiswa saya. Hehe. Dan tentu, itu bisa meringankan perekonomian keluarga saya. Baiklah, nilai plus nya adalah saya mandiri. Akibat adanya "gaji" itu, saya mulai berpikir-pikir, Oh, begini ya, susah payahnya orang bekerja? Well, saya mengalami sendiri, sehingga saya berfikir, betapa beruntungnya kita, orangtua kita bekerja untuk anak-anaknya.

Sayang, ini semua bukan masalah gaji, gaji hanya merupakan suatu hadiah dari waktu yang sudah diluangkan. Mengajar dan Belajar adalah Panggilan Jiwa. Akan sangat bahagia apabila ilmu yang sudah kita pelajari dapat bermanfaat bagi orang lain, apalagi jika kita mempelajarinya dengan cinta dan menularkan kepada orang lain juga melalui cinta. Betapa indahnya berproses dan mengerjakan sesuatu yang didasari dengan rasa suka (cinta). Apabila kita mencintai suatu ilmu, kita akan kepo, pengen taau terus jadinya, dan mendalaminya, meresapinya, bukan hanya dengan logika, tapi juga dengan hati. Karena, jika dalam menuntut ilmu kita meninggalkan salah satunya, maka kebersediaan ilmu itu untuk senantiasa membersamai kita juga akan berkurang kapasitasnya.

Entah mengapa saya sangat menikmati kegiatan saya sebagai pembelajar disini. Di Kota Pelajar ini, yang jelas, bagi saya, belajar ilmu bumi adalah suatu kesenangan, dan, kesenangan itu berlipat apabila hal-hal yang sudah kita pelajari dapat diterima dan dipahami oleh orang lain, bahkan menularkan "cinta" kita mengenai keilmuan tersebut. Itu pula yang melatarbelakangi saya bergabung dengan Gerakan Indonesia Emas sebagai mentor di bidang Geografi. Sekadar cerita, saya memiliki cita-cita untuk menjadi dosen. Tapi, sebelum itu, saya pengen mengabdi melalui Indonesia Mengajar. Doakan ya! Saya pengen tau, bagaimana situasi pendidikan di Indonesia, khususnya daerah pedalaman, sekaligus bisa memberikan motivasi-motivasi bagi anak-anak di daerah tentang pentingnya memiliki cita-cita, mimpi, dan harapan. Tentang bagaimana mewujudkan itu semua melalui pengorbanan, pembelajaran, dan doa.

Semoga pendidikan di Indonesia dapat semakin berkembang, dimulai dari guru-guru yang tulus dan hebat! Oleh sebab itu, mari sama-sama bertumbuh dan menghebat untuk pendidikan Indonesia yang lebih dahsyat!

Nak, nantikan Ibu, ya!

  • Share:

You Might Also Like

0 comments