Mengenal Paludikultur dan Pengelolaan Ekosistem Berkelanjutan di Lahan Gambut

By Futuha Sara - 14.05

Haloha! pernah dengar tentang lahan gambut kan? pasti pernah dong ya. Bukan hanya orang yang menekuni bidang lingkungan saja yang familiar dengan lahan gambut, namun hampir semua kalangan masyarakat kita pasti sudah tidak asing dengan istilah "lahan gambut".

Apa sih yang ada di benak kita saat mendengar istilah "lahan gambut"? 

tanah yang gembur dan empuk? sering terjadi kebakaran di sana? ada di Sumatera dan Kalimantan? dan masih banyak lagi.

menurut pantaugambut.id, Gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, tetumbuhan termasuk rumput dan lumut, juga jasad hewan yang membusuk. Timbunan tersebut menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal. Pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir.

di dunia, lahan gambut mencakup areal seluas kurang lebih 400 juta ha, menyimpan lebih dari 500 milyar ton karbon daratan, 10% areal lahan gambut tersebut berada di wilayah tropis dan menyimpan sekitar 191 milyar ton karbon (Wibowo, A, 2009). Lahan gambut memiliki sifat "porous" sehingga mampu menyimpan air dalam jumlah besar; oleh sebab itu pula, lahan gambut dijuluki sebagai "Pengatur Tata Air yang Baik", wah keren banget gak tuh? 

Apa implifikasi penyimpan air yang baik? dalam keadaan jenuh, lahan gambut dapat mengandung air 450-850% dari berat keringnya, atau sekitar 90% dari volumenya. oleh sebab itu lahan gambut memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai reservoir air tawar dan dapat berfungsi sebagai pencegah banjir di kala musim hujan maupun melepaskan air pada saat musim kemarau untuk mencegah kekeringan.

di Indonesia sendiri, luasan lahan gambut belum bisa dipastikan jumlah totalnya. Namun pada 1992 Balitbang Pertanian - Pusat Penelitian Tanah Bogor memprakirakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 15,4 juta hektar lahan gambut, yang menduduki peringkat 4 lahan gambut terluas di dunia, setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat. wuuhhh mantap djiwa sekali!

ilustrasi lahan gambut bawah permukaan: warna coklat tua (Source: pantaugambut.id)

lahan gambut dilihat di permukaan (source: WRI Indonesia)



kalau dilihat sekilas dari gambar di atas, berasa di lahan gambut ini banyak banget biodiversitasnya ya? dan terkesan seperti hutan! Yupp! karena demikian, terapat beberapa jenis flora dan fauna khas penciri lahan gambut yang tidak ditemukan di landskap/hamparan ekosistem lainnya.

masih dari data yang dihimpun oleh pantaugambut.id, dari 258.650 spesies pohon tinggi yang tercatat di dunia, 13%-15% terdapat di lahan gambut Indonesia, yaitu sekitar 35-40 ribu spesies pohon tinggi. 

Selain fauna, terdapat pula sebaran flora di lahan gambut, yaitu 35 spesies mamalia, 150 spesies burung, dan 34 spesies ikan. Beberapa fauna merupakan spesies endemik dan dilindungi International Union for Conservation of Nature (IUNC) yang masuk ke dalam Red List IUNC, seperti buaya senyulong, langur, orang utan, harimau Sumatera, beruang madu, dan macan dahan. Spesies-spesies itu kini mulai terancam dan keberadaannya makin sedikit.

Langur/monyet daun/Trachypithecus auratus (Sc: TIMES)
Senyulong/Buaya Sapit/Tomistoma schlegelii (sc: Wikipedia)
Macan dahan/Neofalis diardii (sc: Wikipedia)


Selain fauna yang beranekaragam, di lahan gambut juga terdapat beberapa jenis flora/tetumbuhan yang dapat dimanfaatkan masyarakat di sekitarnya sebagai upaya sustainable livelihood atau penghidupan berkelanjutan. 

Mungkin banyak masyarakat kita yang masih menganggap bahwa banyak tanaman yang susah dibudidayakan di lahan gambut karena lahannya yang selalu basah, sementara tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomi pada umumnya merupakan tanaman lahan kering (seperti karet, sengon, kelengkeng, dan lain-lain). 
agroforestry karet dan nenas (sc: Mongabay)

Nah, karena beberapa tanaman budidaya yang bisa ditanam di lahan gambut memerlukan teknik pengeringan, maka hal itu bisa berdampak bagi keberlanjutan lahan gambut. Mengapa? Lahan gambut pada "nature" nya selalu basah, apabila dikeringkan, maka akan membuat regenerasi biomasanya berkurang, sehingga tidak menghasilkan siklus yang berkelanjutan. 

Ada satu istilah yang digunakan untuk budidaya pertanian lahan gambut, yaitu sistem  paludikultur. Paludikultur itu sendiri diartikan sebagai pemanfaatan lahan rawa gambut dan gambut yang dibasahi kembali secara produktif, yang dilakukan dengan cara menyimpan karbon stok dalam jangka waktu yang panjang, dengan mempertahankan tinggi muka air tanah sepanjang tahun. 

Sistem ini dikenal pula sebagai sistem "tanpa drainase". Berbeda dengan ketika ditanami karet/kopi (liberika)/kakao dan semacamnya yang memerlukan drainase, di sistem paludikultur, sejatinya kita kembali lagi ke "apa yang disediakan oleh alam".

yep, SAGU dan PURUN.

pohon sagu (sc: Agrotek.id)
tanaman purun (sc: wikipedia)


Dua tanaman ini merupakan tanaman yang bisa hidup dengan baik di habitat alami lahan gambut. Sagu dikenal sebagai bahan makanan pokok, sementara tanaman purun dimanfaatkan sebagai salah satu bahan kerajinan (anyaman). 

olahan sagu (sc: twitter.com/KelanaRasa)

berbagai kriya anyaman purun (sc: shopee)

Pemanfaatan sumberdaya lokal menjadi salah satu alternatif dalam pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. selain memberikan dampak ekologis yang baik, pemanfaatan sumberdaya lokal juga dapat mendorong perekonomian berkelanjutan.

Tidak hanya tanaman, hewan pun juga harus dilindungi agar tidak membawa dampak yang buruk bagi ekosistem (melalui rantai makanan). Karena apabila rantai makanan tidak seimbang, maka alam akan "kolaps" dan berdampak ke kehidupan manusia.

Pada awal Agustus 2021 lalu, #EcoBloggerSquad menerima materi terkait perlindungan fauna di Lahan Gambut. materi ini disampaikan oleh Kak Ola Abas dari Pantau Gambut ID dan Ibu Herlina Agustin dari Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjajaran.

dalam kesempatan itu dipaparkan mengenai pelestarian fauna di lahan gambut. Beberapa kendala dalam pelestariannya adalah: perburuan liar, perburuan, perdagangan, invasi spesies, dan rekayasa genetika. Hal ini menjadi PR tersendiri untuk kita bisa menjaga dan melindungi biodiversitas yang ada. salah satunya adalah melalui edukasi.

dengan edukasi, harapannya banyak wawasan dan pengetahuan baru yang tersalurkan kepada masyarakat luas, sehingga kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan kian meningkat, dan mendukung pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments